Enam belas Desember 1969, Soe Hok Gie, tokoh mahasiswa dan
pemuda, meninggal dunia di puncak Gunung Semeru, bersama Idhan
Dhanvantari Lubis. Sosok dan sikapnya sebagai pemikir, penulis, juga
aktivis yang berani, coba ditampilkan Rudy Badil, yang mewakili rekan lainnya, Aristides ( Tides ) Katoppo, Wiwiek A. Wiyana, A. Rachman ( Maman ), Herman O. Lantang dan almarhum Freddy Lasut.
“Siap - siap kalau mau ikut naik lagi ke Gunung Semeru.
Kasih kabar secepatnya, sebab harus ada persiapan di musim penghujan
Desember, juga pertengahan Desember itu bulan puasa Ramadhan,” kata
Herman O. Lantang, mantan pimpinan pendakian Musibah Semeru 1969, yang
masih amat bugar di umurnya yang sudah lewat 57 tahun.
Terkejut dan tersentuh juga saya saat mendengar ajakan Herman itu. Dia
merencanakan membentuk tim kecil untuk mendaki puncak Semeru lagi
Desember ini, sambil memperingati 30 tahun meninggalnya dua sobat lama
kami, Soe Hok Gie dan Idhan Lubis. “Kita juga akan berdoa, sekalian
mengenang Freddy Lasut yang meninggal beberapa bulan lalu,” lanjutnya.
Soe meninggal dunia saat baru berumur 27 tahun kurang sehari. Idhan
malah baru 20 tahun.
“Tanpa terasa Soe sudah tiga dasawarsa meninggalkan kita sejak Orde
Baru … perkembangan yang terjadi di Tanah Air dalam dua tahun terakhir
ini, khususnya gerakan mahasiswa yang telah menggulingkan pemerintahan
Orde Baru, mengingatkan kita kembali pada situasi tahun 1960-an, ketika
Soe masih menjadi aktivis mahasiswa kala itu,” begitu bunyi naskah
buku kecil acara “Mengenang Seorang Demonstran”, ( berisikan antara
lain diskusi panel soal bangsa dan negara Indonesia ini ), yang bakal
diselenggarakan Iluni FSUI dan Alumni Mapala UI.
Kasih Batu dan Cemara
Dari beberapa catatan kecil serta dokumentasi yang ada, termasuk buku
harian Soe yang sudah diterbitkan, Catatan Seorang Demonstran ( CSD ) (
LP3ES, 1983 ), di benak saya mulai tergali suasana sore hari bergerimis
hujan dan kabut tebal, tanggal 16 Desember 1969 di Gunung Semeru.
Seusai berdoa dan menyaksikan letupan Kawah Jonggringseloko di Puncak
Mahameru ( puncaknya Gunung Semeru ) serta semburan uap hitam yang
mengembus membentuk tiang awan, bersama Maman saya terseok - seok
gontai menuruni dataran terbuka penuh pasir bebatuan. Kami menutup
hidung, mencegah bau belerang yang makin menusuk hidung dan paru - paru.
Di depan kelihatan Soe sedang termenung dengan gaya
khasnya, duduk dengan lutut kaki terlipat ke dada dan tangan menopang
dagu, di tubir kecil sungai kering. Tides dan Wiwiek turun duluan.
Sempat pula kami berpapasan dengan Herman dan Idhan. Kelihatannya kedua
teman itu akan menjadi yang paling akhir mendaki ke Mahameru. Dengan
tertawa kecil, Soe menitipkan batu dan daun cemara. Katanya, “Simpan
dan berikan kepada kepada ‘kawan-kawan‘ batu berasal dari tanah
tertinggi di Jawa. Juga hadiahkan daun cemara dari puncak gunung
tertinggi di Jawa ini pada cewek-cewek FSUI.” Begitu kira - kira
kata-kata terakhirnya, sebelum bersama Maman saya turun ke perkemahan
darurat dekat batas hutan pinus atau situs recopodo ( arca purbakala
kecil sekitar 400 - an meter di bawah Puncak Mahameru ).
Di perkemahan darurat yang cuma beratapkan dua lembar ponco ( jas hujan
tentara ), bersama Tides, Wiwiek dan Maman, kami menunggu datangnya
Herman, Freddy, Soe, dan Idhan. Hari makin sore, hujan mulai tipis dan
lamat-lamat kelihatan beberapa puncak gunung lainnya. Namun secara
berkala, letupan di Jonggringseloko tetap terdengar jelas. Menjelang
senja, tiba - tiba batu kecil berguguran. Freddy muncul sambil
memerosotkan tubuhnya yang jangkung. “Soe dan Idhan kecelakaan!” katanya.
Tak jelas apakah waktu itu Freddy bilang soal terkena uap racun, atau
patah tulang. Mulai panik, kami berjalan tertatih - tatih ke arah
puncak sambil meneriakkan nama Herman, Soe, dan Idhan
berkali - kali. Beberapa saat kemudian, Herman datang sambil
mengempaskan diri ke tenda darurat. Dia melapor kepada Tides, kalau Soe
dan Idhan sudah meninggal! Kami semua bingung, tak tahu harus berbuat
apa, kecuali berharap semoga laporan Herman itu ngaco.
Kami berharap semoga Soe dan Idhan cuma pingsan, besok pagi siuman lagi
untuk berkumpul dan tertawa-tawa lagi, sambil mengisahkan pengalaman
masing - masing.Tides sebagai anggota tertua, segera mengatur rencana
penyelamatan. Menjelang maghrib, Tides bersama Wiwiek segera turun
gunung, menuju perkemahan pusat di tepian ( danau ) Ranu Pane, setelah
membekali diri dengan dua bungkus mi kering, dua kerat coklat, sepotong
kue kacang hijau, dan satu wadah air minum. Tides meminta kami menjaga
kesehatan Maman yang masih shock, karena tergelincir dan jatuh
berguling ke jurang kecil.
“Cek lagi keadaan Soe dan Idhan yang sebenarnya,” begitu
ucap Tides sambil pamit di sore hari yang mulai gelap. Selanjutnya,
kami berempat tidur sekenanya, sambil menahan rembesan udara berhawa
dingin, serta tamparan angin yang nyaris membekukan sendi tulang.Baru
keesokan paginya, 17 Desember 1969, kami yakin kalau Soe dan Idhan
sungguh sudah tiada, di tanah tertinggi di Pulau Jawa. Kami jumpai
jasad kedua kawan kami sudah kaku. Semalam suntuk mereka lelap berkasur
pasir dan batu kecil Gunung Semeru. Badannya yang dingin, sudah
semalaman rebah berselimut kabut malam dan halimun pagi. Mata Soe dan
Idhan terkatup kencang serapat katupan bibir birunya. Kami semua diam
dan sedih.
Mengapa Naik Gunung
Sejak dari Jakarta Soe sudah merencanakan akan memperingati hari ultahnya yang ke-27 di Puncak Mahameru. Malam sebelumnya, tanggal 15 Desember, dalam tenda sempit di tepi hutan Cemoro Kandang,
Soe yang amat menguasai lirik dan falsafah lagu - lagu tertentu,
meminta kami menyanyikan lagu spiritual negro, Nobody Knows, sampai
berulang - ulang. Padahal irama lagu ini monoton sampai sudah
membosankan kuping dan tenggorokan. Idhan yang pendiam, cuma duduk
tertawa - tawa, sambil mengaduk - aduk rebusan mi hangat campur telur
dan kornet kalengan.
Malam dingin dan hujan itu, kami bertujuh banyak bercerita, termasuk
mendengarkan rencana Soe yang mau berultah di puncak gunung. “Pokoknya gue akan berulang tahun di atas,” katanya sambil mesam - mesem. “Nyanyi lagi dong. Lagu Donna Donna-nya Joan Baez itu bagus sekali.”
Pagi hari nahas itu, sebelum berkemas untuk persiapan pendakian ke
puncak, kami sarapan berat. Soe yang biasanya cuma bercelana pendek,
kini memakai celana panjang dengan sepatu bot baru. Bahkan dia
mengenakan kemeja kaus warna kuning dengan simbol UI di kantung. “Keren enggak?” Tanyanya.
Rombongan pun berjalan mendaki, menuju Puncak Mahameru
dari dataran di kaki Gunung Bajangan. Soe sebagaimana biasanya, selalu
memanggul ransel besar dan berat, berjalan gesit sambil banyak cerita
dan komentar. Ia mengisahkan bahwa di sekitar daerah itu pasti masih
banyak harimau karena dia menemukan jejak kakinya. Dia juga menyebut
kalau Cemoro Kandang berlumpur arang gara - gara kebakaran hutan pinus tahunan, sebagai pertanda seleksi alam dan proses regenerasi tanaman hutan.
Dosen sejarah ini terus nyerocos kepada mahasiswanya, asal muasal nama
recopodo alias arca kembar, serta mitologi Puncak Mahameru yang
berkaitan dengan nasib Pandawa Lima dalam pewayangan Jawa. Namun sang
mahasiswa juga membayangkan dengan geli, betapa kagetnya wakil DPR - RI
saat itu ketika menerima bingkisan dari kelompok Soe berisi gincu dan
cermin sebagai perlambang fungsi anggota DPR yang banci. Sayang, cuma
segitu ingatan saya tentang Soe pada jam - jam terakhirnya.
Yang masih tetap terngiang justru rayuan dan “falsafahnya”, kala mengajak seseorang mendaki gunung. “Ngapain
lama - lama tinggal di Jakarta. Mendingan naik gunung. Di gunung kita
akan menguji diri dengan hidup sulit, jauh dari fasilitas enak - enak.
Biasanya akan ketahuan, seseorang itu egois atau tidak. Juga dengan
olahraga mendaki gunung, kita akan dekat dengan rakyat di pedalaman.
Jadi selain fisik sehat, pertumbuhan jiwa juga sehat. Makanya yuk kita
naik gunung. Ayo ke Semeru, sekali - kali menjadi orang tertinggi di P. Jawa. Masa cuma Soeharto saja orang tertinggi di P. Jawa ini,” kira - kira begitu katanya, sambil menyinggung nama mantan Presiden Soeharto, nun sekitar 30 tahun lalu.
Memang pendakian ke Semeru ini merupakan proyek kebanggaan Mapala FSUI
1969. Soe dengan keandalannya melobi kiri - kanan, mampu mengumpulkan
dana untuk subsidi penuh beberapa rekan yang mahasiswa bokek sejati.
Singkat cerita, musibah sudah terjadi. Soe mungkin tidak membayangkan
betapa kematiannya bersama Idhan Lubis bikin repot setengah mati banyak
orang. Kami yang ditinggal dalam suasana tak menentu, selama sembilan
hari benar - benar hidup tidak kejuntrungan. Selain puasa sampai tiga
hari karena kehabisan makanan, kami makin sedih saat menerima surat
dari Tides via kurir, menanyakan keadaan Soe dan Idhan. Herman, kami
sudah sampai di Gubuk Klakah hari Kamis pagi, sesudah jalan sepanjang
malam ( sekitar 20 jam ).
Pak Lurah menyanggupi tenaga bantuan 10 orang dan bekal. Mohon kabar
bagaimana Soe, Idhan, dan Maman dll. secepatnya mendahului rombongan …
Tides dan Wiwik 18-12-69.Saya pun terpilih menjadi kurir, mendahului
rombongan sambil membawa surat untuk Tides. Isinya apalagi kalau bukan
minta bantuan tenaga dan bahan makanan. Herman pun menulis surat: Saya
tunggu di Cemorokandang dan bermaksud menunjukkan “site” tempat jenazah
Soe dan Idhan … kirimkan: gula / gula jawa, nasi, lauk, permen, pakaian
hangat … sebanyak mungkin! Akhirnya, semua bantuan tiba. Seluruh
anggota rombongan baru berkumpul lagi pada tanggal 22 Desember di
Malang. Kurus dan kelelahan. Maman terpaksa dirawat khusus beberapa
hari di RS Claket. Sedangkan Soe dan Idhan, terbaring kesepian di dalam
peti jenazah masing - masing. Untuk terakhir kali, kami tengok Soe dan
Idhan. Soe yang mati muda, terbujur kaku dengan kemeja tangan panjang
putih lengkap dengan dasi hitam. Jenis barang yang tidak mungkin
dipakai semasa hidupnya.
Monyet Tua Yang Dikurung
Kalau diingat - ingat, selama beberapa minggu sebelum keberangkatan
dengan kereta api ke Jatim, Soe memang suka berkata aneh-aneh. Beberapa
kali dia mengisahkan kegundahannya tentang seorang kawan yang mati muda
gara - gara ledakan petasan. Ternyata dalam buku hariannya di CSD, Hok
Gie menulis:
“… Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya
ingin ngobrol - ngobrol pamit sebelum ke Semeru ….” Soe yang banyak
membaca dan sering diejek dengan julukan “Cina Kecil”, memanfaatkan
kebeningan ingatannya untuk menyitir kata - kata “sakti” filsuf asing.
Antara lain, tanggal 22 Januari 1962, ia menulis:
“Seorang filsuf Yunani pernah menulis … nasib terbaik adalah tidak
dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial
adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang
mati muda.” Soe yang penyayang binatang ( dia memelihara beberapa
ekor anjing, banyak ikan hias dan seekor monyet tua jompo ), sebelum
musibah Semeru itu sempat berujar:
“Kehidupan sekarang benar - benar membosankan saya. Saya merasa seperti
monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi.
Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin
dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai
kecil … orang - orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat
tidur.” Arief Budiman, sang kakak yang menjemput jenazah Soe di Gubuk
Klakah, juga merasakan sikap aneh adiknya. Sebelum dia meninggal pada
bulan Desember 1969, ada satu hal yang pernah dia bicarakan dengan saya.
Dia berkata, “Akhir - akhir ini saya selalu berpikir, apa
gunanya semua yang saya lakukan ini. Saya menulis, melakukan kritik
kepada banyak orang … makin lama makin banyak musuh saya dan makin
sedikit orang yang mengerti saya. Kritik - kritik saya tidak mengubah
keadaan. Jadi, apa sebenarnya yang saya lakukan … Kadang - kadang saya
merasa sungguh kesepian.” ( CSD ) Arief sendiri mengungkapkan, ibu mereka sering gelisah dan berkata: “Gie, untuk apa semuanya ini. Kamu hanya mencari musuh saja, tidak mendapat uang.” Terhadap Ibu, dia cuma tersenyum dan berkata: “Ah, Mama tidak mengerti”.
Arief pun menulis kenangannya lagi: … di kamar belakang, ada sebuah
meja panjang. Penerangan listrik suram karena voltase yang selalu naik
turun kalau malam hari. Di sana juga banyak nyamuk. Ketika orang -
orang lain sudah tidur, sering kali masih terdengar suara mesin tik …
dari kamar yang suram dan banyak nyamuk itu, sendirian, sedang mengetik
membuat karangan … saya terbangun dari lamunan … saya berdiri di
samping peti matinya. Di dalam hati saya berbisik, “Gie kamu tidak sendirian”. Saya tak tahu apakah Hok Gie mendengar atau tidak apa yang saya katakan itu.
Mimpi seorang Mahasiswa Tua
John Maxwell yang menyusun disertasinya, Soe Hok Gie – A Biography of A Young Indonesia Intellectual ( Australian National University, 1997
), menjabarkan betapa banyaknya komentar penting terhadap kematian Hok
Gie. Harian Indonesia Raya yang masa itu sedang gencar - gencarnya
mengupas kasus korupsi Pertamina-nya Ibnu Sutowo, memuat tulisan
moratorium tentang Soe secara serial selama tiga hari. Mingguan Bandung Mahasiswa Indonesia, mempersembahkan editorial khusus:
…Tanpa menuntut agar semua insan menjadi seorang Soe Hoek-gie,
kita hanya bisa berharap bahwa pemuda ini dapat menjadi model seorang
pejuang tanpa pamrih … kita membutuhkan orang seperti dia, sebagai
lonceng peringatan yang bisa menegur kita manakala kita melakukan
kesalahan. Di luar negeri, berita kematian Soe sempat diucapkan Duta
Besar RI Soedjatmoko, di dalam pertemuan The Asia Society in New York, sebagai berikut:
… Saya ingin menyampaikan penghormatan pada kenangan Soe Hoek-gie,
salah seorang intelektual yang paling dinamis dan menjanjikan dari
generasi muda pasca kemerdekaan …. Komitmennya yang mutlak untuk
modernisasi demokrasi, kejujurannya, kepercayaan dirinya yang teguh
dalam perjuangan … bagi saya ia memberikan suatu ilustrasi tentang
adanya kemungkinan suatu tipe baru orang Indonesia, yang benar - benar
asli orang Indonesia. Saya pikir pesan inilah yang telah disampaikannya
kepada kita, dalam hidupnya yang singkat itu.
Kepada Ben Anderson, pakar politik Indonesia yang juga kawan lengket Soe, dalam salah satu surat terakhirnya, Soe menulis,
… Saya merasa semua yang tertulis dalam artikel - artikel saya adalah sejumput petasan. Dan semuanya ingin saya isi dengan bom! Dari cuplikan berbagai tulisan Soe, terasa sekali sikap dan pandangannya yang khas. Misalnya, Soe pernah menulis begini:
Saya mimpi tentang sebuah dunia, di mana ulama – buruh – dan pemuda,
bangkit dan berkata – stop semua kemunafikan, stop semua pembunuhan
atas nama apa pun. Tak ada rasa benci pada siapa pun, agama apa pun,
dan bangsa apa pun. Dan melupakan perang dan kebencian, dan hanya sibuk
dengan pembangunan dunia yang lebih baik. Khusus soal mahasiswa,
menjelang lulus sebagai sejarawan, 13 Mei 1969, Soe sempat menulis
artikel Mimpi - Mimpi Terakhir Seorang Mahasiswa Tua. Dalam uraian
tajam itu, ia menyatakan:
… Beberapa bulan lagi saya akan pergi dari dunia mahasiswa. Saya
meninggalkan dengan hati berat dan tidak tenang. Masih terlalu banyak
kaum munafik yang berkuasa. Orang yang pura - pura suci dan
mengatasnamakan Tuhan … Masih terlalu banyak mahasiswa yang
bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau
berkuasa. Saat dirinya masuk korps dosen FSUI, secara blak - blakan Soe
mengungkap ada dosen yang membolos 50% dari jatah jam kuliahnya. Bahkan
ada dosen menugaskan mahasiswa menerjemahkan buku. Terjemahan mahasiswa
itu dipakainya sebagai bahan pengajaran, karena sang dosen ternyata
tidak tahu berbahasa Inggris. Masih di seputar mahasiswa, dalam nada
getir, Soe menulis:
… Hanya mereka yang berani menuntut haknya, pantas diberikan keadilan.
Kalau mahasiswa Indonesia tidak berani menuntut haknya, biarlah mereka
ditindas sampai akhir zaman oleh sementara dosen - dosen korup mereka.
Khusus untuk wakil mahasiswa yang duduk dalam DPR Gotong Royong, Hok
Gie sengaja mengirimkan benda peranti dandan. Sebuah sindiran supaya
wakil mahasiswa itu nanti bisa tampil manis di mata pemerintah. Padahal
wakil mahasiswa itu teman - temannya sendiri yang dijuluki “politisi
berkartu mahasiswa”. Langkah Soe ini membuat mereka terperangah.
Sayangnya, momentum ini kandas. Soe Hok Gie keburu tewas tercekik gas
beracun di Puncak Mahameru.
Berpolitik Cuma Sementara
John Maxwell dalam epilog naskah buku Mengenang Seorang Demonstran ( November 1999 ), menulis begini,
“Saya sadar telah menulis tentang seorang pemuda yang hidupnya
berakhir tiba - tiba, dan terlalu dini dengan masa depan yang penuh
dengan kemungkinan yang begitu luas.” Kita telah memperhatikan
bagaimana Soe Hoek Gie terpana politik dan peristiwa nasional,
setidak-tidaknya sejak masih remaja belasan tahun … namun hasratnya
terhadap dunia politik, diredam oleh penilaiannya sendiri bahwa dunia
politik itu pada dasarnya lumpur kotor. Semua orang seputar Soekarno dinilainya korup dan culas, sementara pimpinan partai dan politisi terkemuka, tidak lebih dari penjilat dan bermental “asal bapak senang”, serta “yes men”, atau sudah pasrah.
Pandangan ini menjadi latar belakang pembelaan Soe akan kekuatan moral
dalam politik di awal tahun 1966. Keikutsertaannya dalam politik hanya
untuk sementara. Pada pertengahan tahun yang sama, dia menyampaikan
argumentasi bahwa sudah tiba saatnya bagi mahasiswa untuk mundur dari
arena politik dan membiarkan politisi profesional bertugas, membangun
kembali institusi politik bangsa.”
Demikian tulis Maxwell. Soe memang sudah bersikap. Dia memilih mendaki gunung daripada ikut - ikutan berpolitik praktis.
Dia memilih bersikap independen dan kritis dengan semangat bebas.
Pikiran dan kritiknya tertuang begitu produktif dalam pelbagai artikel
di media cetak. Namun secara diam - diam, Soe ternyata juga menumpahkan
unek-uneknya dalam bentuk puisi indah. Salah satunya Mandalawang i- Pangrango yang terkenal di kalangan pendaki gunung.
Pemuda lajang yang sempat pacaran dengan beberapa gadis manis FSUI,
selain kutu buku, macan mimbar diskusi, kambing gunung, tukang nonton
film, juga penggemar berat folk song ( meski sama sekali tak becus
bernyanyi merdu ). Berbadan kurus nyaris kerempeng, di gunung
makannya gembul. Bagi pemuda dan khususnya mahasiswa demonstran, masih
ada potongan puisi Hok Gie yang sempat tercecer, baru muncul di harian Sinar Harapan 18 Agustus 1973. Judulnya “Pesan” dan cukilan pentingnya berbunyi:
Hari ini aku lihat kembali
Wajah-wajah halus yang keras
Yang berbicara tentang kemerdekaaan
Dan demokrasi
Dan bercita-cita
Menggulingkan tiran
Aku mengenali mereka
yang tanpa tentara mau berperang melawan diktator
dan yang tanpa uang
mau memberantas korupsi.Kawan - kawan
Kuberikan padamu cintaku
Dan maukah kau berjabat tangan
Selalu dalam hidup ini?
Sumber : http://www.belantaraindonesia.org/2010/03/soe-hoek-gie-legenda-semeru.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar